ZUPERZ – Di era digital kayak sekarang, personal branding udah jadi kebutuhan hampir semua orang, terutama Gen Z. Kita diajarin untuk punya “citra diri” yang kuat di media sosial, biar bisa dikenal sebagai “si kreatif”, “si smart”, atau “si produktif”. Tapi tanpa sadar, kita mulai terjebak dalam tekanan buat tampil sempurna setiap saat dan itu capek banget.
Awalnya mungkin cuma pengen bikin konten yang estetik, ngeshare karya biar dilihat orang, atau nunjukin proses kerja biar keliatan produktif. Tapi lama-lama, semuanya jadi tuntutan. Harus upload tiap hari, harus dapet engagement tinggi, harus tetep senyum di depan kamera meski hati lagi ambyar.
Banyak dari kita yang akhirnya ngerasa kelelahan, bahkan ngerasa nggak kenal diri sendiri lagi. Karena terlalu fokus membangun citra, kita jadi lupa apa yang benar-benar bikin kita nyaman. Apakah kita posting itu karena pengen, atau karena takut dilupain algoritma?
Data dari Pew Research Center menunjukkan bahwa 59% Gen Z merasa stres karena tekanan sosial media, terutama soal image dan kesuksesan. Kita merasa harus terus terlihat aktif, berprestasi, dan bahagia padahal di balik layar, banyak yang lagi berjuang keras buat sekadar bertahan.
Nggak sedikit yang akhirnya burnout, ngerasa fake, bahkan kehilangan semangat berkarya. Karena personal branding berubah jadi beban branding. Padahal, esensi dari personal branding adalah menjadi versi terbaik dari diri kita, bukan jadi orang lain demi likes dan views.
Kalau udah sampai di titik ini, tandanya kamu butuh rehat. Rehat dari algoritma, dari ekspektasi orang, dan dari keharusan untuk selalu terlihat oke. Personal branding yang sehat adalah ketika kamu jujur, konsisten, dan tetap nyaman jadi diri sendiri. Kamu tetap bisa dikenal orang, tanpa harus kehilangan kedamaian batin.
Jadi, jangan takut ngepause sejenak. Nggak semua progress harus dipamerin, dan nggak semua pencapaian harus divalidasi. Kadang, diam juga bentuk dari pertumbuhan. Yang penting kamu tetap ada, dan tetap jadi kamu. (*)