ZUPERZ – Generasi muda Indonesia, khususnya Gen Z mengadopsi pola kerja baru yang dikenal sebagai quiet hustle.
Di tengah perkembangan ekonomi digital dan makin kompleksnya kebutuhan hidup, tren ini malah melejit
Tren ini merujuk pada kegiatan atau pekerjaan yang tidak diumumkan secara luas, juga disebut sebagai kerja sampingan yang dijalankan secara tenang.
Berbeda dengan era sebelumnya yang mengedepankan hustle culture atau kerja keras yang terlihat dan terpublikasi.
Gen Z justru menunjukkan preferensi untuk bekerja dalam diam dan mengedepankan penghasilan.
Perbedaan ini juga dipengaruhi oleh modernisasi dan perkembangan teknologi yang semakin canggih.
Hal ini tentu tidak diragukan lagi, pasalnya Gen Z tumbuh beriringan dengan teknologi sehingga penyerapan ilmu dan perputaran informasi dapat dijangkau dari Gen sebelumnya.
Quiet hustle bahkan merujuk pada adaptasi perubahan zaman.Aktivitas kerja dalam tren quiet hustle ini mencakup berbagai bentuk seperti menjadi freelancer desain, penulis lepas, reseller daring, hingga mengelola kanal YouTube tanpa memperlihatkan wajah.
Data dari Katadata Insight Center (KIC) tahun 2024 menunjukkan bahwa sekitar 68% anak muda usia 18–27 tahun memiliki pekerjaan sampingan, namun hanya 27% di antaranya yang membagikannya secara rutin di media sosial.
Sisanya lebih memilih menjaga privasi, membatasi ekspektasi sosial, dan menjaga ruang aman bagi kesehatan mental mereka.
Pakar sosiologi digital menilai bahwa quiet hustle adalah bentuk adaptasi terhadap tekanan sosial di era digital.
Gen Z menyadari bahwa eksistensi digital yang berlebihan dapat berdampak pada kecemasan sosial dan burnout.
Oleh karena itu, mereka mengembangkan cara bekerja yang lebih personal, fleksibel, dan berorientasi pada keseimbangan.
“Gen Z tidak hanya menolak budaya kerja yang merugikan, tetapi mereka juga mencari cara baru untuk bekerja yang lebih seimbang dan bermakna,” kata Dr. Sina Konz, seorang ahli psikologi dalam salah satu podcastnya.
Di sisi lain, tren ini juga menunjukkan kematangan finansial dan emosional.
Banyak dari mereka yang memulai kerja lepas untuk menambah penghasilan, membayar kuliah, atau bahkan mendukung keluarganya.
Meski terlihat sunyi di permukaan, kontribusi ekonomi dari aktivitas ini cukup signifikan, terutama di sektor ekonomi kreatif dan digital.
Pemerintah pun mulai menangkap sinyal ini. Berbagai program pelatihan daring dan inkubasi bisnis ditawarkan untuk mendorong anak muda agar terus berkembang tanpa harus meninggalkan zona kenyamanan mereka.
Pelatihan desain grafis, pemasaran digital, dan manajemen usaha mikro jadi beberapa program yang paling diminati.
Bagi Gen Z, ketenangan justru menjadi kekuatan dan diam bukan berarti tidak berdampak.
Sehingga pilihan Quiet hustle menjadi penanda perubahan paradigma dalam dunia kerja dan produktivitas. (*)