Respons pemerintah Indonesia terhadap maraknya pengibaran bendera bajak laut dari serial animasi One Piece menuai sorotan tajam, tak hanya dari publik dalam negeri, tapi juga dari media internasional. Sejumlah media asing menilai langkah pemerintah terlalu berlebihan dan mencerminkan kepanikan yang tidak proporsional.
Fenomena pengibaran bendera bajak laut Straw Hat Pirates — yang identik dengan simbol tengkorak bertopi jerami — terjadi di berbagai daerah menjelang Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia. Bendera tersebut bahkan terlihat dikibarkan berdampingan dengan bendera Merah Putih, mulai dari kendaraan umum, rumah warga, hingga ruang publik.
Wakil Ketua DPR RI dari Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan bahwa pengibaran bendera tersebut bukanlah insiden acak. Ia mencurigai ada “gerakan sistematis” yang mencoba mengganggu persatuan bangsa.
“Ini bukan kebetulan. Ada upaya terkoordinasi untuk memecah belah persatuan bangsa,” ujar Dasco kepada wartawan di Jakarta.
Pernyataan ini memicu perdebatan publik mengenai batas kebebasan berekspresi, terutama dalam konteks negara demokrasi. Terlebih, simbol One Piece sebelumnya justru pernah dipakai secara terbuka oleh Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka saat debat capres-cawapres pada 2024 lalu, dalam bentuk pin yang disematkan di jasnya.
Reaksi keras dari pemerintah ini kemudian menarik perhatian sejumlah media asing, termasuk media mainstream global serta media komunitas yang fokus pada budaya pop dan dunia gim. Banyak di antaranya mempertanyakan sikap pemerintah Indonesia yang dianggap “panik dan ketakutan” terhadap ekspresi budaya populer yang tak berbahaya.
Beberapa media internasional mengangkat narasi bahwa pemerintah Indonesia terkesan alergi terhadap simbol budaya asing, terutama yang memiliki keterkaitan dengan gerakan massa atau komunitas fandom yang kuat.